Investasi
yang digadang-gadangkan akan membawa kesejahteraan kepada masyarakat ternyata
berbalik 180 derajat. Hal ini lah yang terjadi di wilayah kontrak pertambangan
PT. Harita Prima Abadi Mineral (HPAM). Dan, tulisan ini merupakan potret dari pengerukan
salah satu kekayaan alam bumi Kalimantan berupa bauksit.
Sebelum
masuknya PT. HPAM, masyarakat hidup dari alam yang selama ini menanungi
hidupnya. Hasil ladang digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan,
tanaman padi untuk kebutuhan karbohidrat, serat dari sayur mayur, protein
hewani dari tangkapan binatang buruan maupun sungai serta ternak liar sedangkan
vitamin dari memetik maupun mengambil buah hutan. Saat itu dalam 1 tahun
kebutuhan pangan masyarakat hariannya dapat terpenuhi dari hasil ladang maupun
berburu, sedangkan yang dari beli pelengkapnya saja seperti bumbu, telor dan
mie, peralatan bangunan, BBM, biaya sosial dan biaya pendidikan.
Pun,
perkembangan kebudayaan masyarakatnya sangat erat terkait dengan alamnya.
Prinsip kebudayaan yang selaras dengan alam dapat dilihat dari kebudayaan buka
hutan, berladang (dari mulai menugal hingga pesta panen/gawai padi/bejujong),
menjaga sungai, buang antu dan aturan-aturan sosial yang diatur di dalam hukum
adat. Pranata sosial diatur oleh struktur politik yang egaliter dijalankan oleh
pengurus adat yang dipimpin oleh Kepala Adat. Kepala Desa yang merupakan
kepanjangan tangan dari struktur pemerintah RI mengatur urusan-urusan yang
terkait dengan pemerintahan. Pilihan politik masyarakat sangat ditentukan oleh
pengurus adat.
Sebelum
tahun 2006 wilayah Simpanghulu masih memiliki hutan tropis alam yang luas.
Terbentuk sejak ribuan tahun dari vegetasi kayu alam endemik kalimantan dengan
berbagai jenis keragaman hayati flora dan fauna baik yang sudah diketahui
kegunaannya maupun belum, baik yang sudah ada namanya maupun belum dan baik
yang sudah dimanfaatkan maupun belum.
Juga,
terdapat hutan dengan campuran tanaman pertanian serta perkebunan seperti kayu
hutan, karet, kopi, berbagai tanaman buah, bambu dll yang dibuat di bekas
ladang (bawas/dahas/nama lainnya) serta hutan campuran yang merupakan
rehabilitasi kawasan kritis bekas penebangan HPH.
Sungai-sungai
yang mengalir di wilayah tersebut kondisinya baik ditandai dengan jernihnya
air, mudahnya menangkap ikan sungai dan juga kebutuhan masyarakat akan air
tidak susah karena sungainya layak dikonsumsi. Daya dukung ekologi juga
dirasakan dengan segarnya udara dan sirkulasi perairan dari daratan ke sungai
masih relatif bagus sehingga pasang surutnya air sungai masih normal tidak
menggenang lama.
Persoalan
mulai muncul pada tahun 2006 dimana masyarakat dikumpulkan di balai pertemuan
desa oleh perangkat desa untuk mendengarkan sosialiasi masuknya PT. HPAM.
Sosialisasi dilakukan oleh perusahaan dan di dampingi oleh petugas dari kantor
kecamatan, kantor bupati, kepolisian (polpos dan polsek), tentara (babinsa dan
koramil).
PT.
HPAM berpedoman pada SK. Bupati Ketapang No. 188, No. 189 dan No. 190 Tahun
2005 untuk membuka usaha pertambangan bouksit. PT. HPAM berjanji akan membangun
jalan, membuka lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan dampak
positif lainnya. Sedangkan bagi masyarakat yang menolak berarti anti
pembangunan dan melawan negara.
Dalam
menjalankan operasi awal PT. HPAM dibantu oleh pengurus adat, birokrasi desa
dan Kecamatan, serta meminta bantuan pengamanan dari POLRI dan TNI. Kompensasi
yang diberikan kepada mereka berupa insentif berupa uang dan fasilitas
penunjang lainnya. Setelah sosialisasi, PT. HPAM melakukan pembebasan lahan
serta merekrut orang-orang kampung yang memiliki pengaruh. Janji perusahaan
berupa nilai ganti rugi yang ditawarkan dan lapangan pekerjaan untuk masyarakat
serta perusahaan akan membangunkan jalur transportasi darat yang membuka
wilayah seperti sekucing labai dengan desa lainnya.
Nilai
ganti rugi yang diterima pemilik lahan berbeda-beda, ada yang menerima
Rp.500.000,-/Ha, Rp. 5.000.000,-/Ha, dan ada yang ganti ruginya Rp.
25.000.000/Ha. Perbedaan soal nilai ganti rugi belum ada alasan yang pasti,
dari beberapa informasi, besarnya ganti rugi tergantung pada lobby, namun
demikian ada yang mengatakan tergantung kandungan bauksit di lahan. Setelah
itu, mulailah pengerukan bouksit oleh PT. HPAM melalui anak perusahaannya PT.
KUTJ.
Pengerukan
bauksit membawa kerusakan alam yang sangat parah. Hutan tropis dengan berbagai
jenis keanekaragamannya, kebun dengan berbagai jenis tanaman dan ladang
dibongkar dengan berbagai jenis alat berat. Sejak saat itu, nyanyian harmoni
alam yang selama ini mengiringi kehidupan masyarakat diganti dengan raungan
eksavator, buldoser, gergaji mesin, truk yang bekerja siang malam (24 jam)
membongkar dan mengeruk tanah serta kekayaan alam.
Selama
6 tahun beroperasi luas wilayah yang sudah di bongkar ± 150 km² dengan
kedalaman 5 sampai 20 meter. Bukit mungguk sebelum pengerukan memiliki tinggi
kurang lebih 30 meter menjadi 5 meter. PT. HPAM mengangkut kerukan bauksit tiap
harinya kurang lebih 200 unit dump truck (6 Ton/truck). Jika di rata-rata dalam
1 hari 1.200 ton/hari x 24 hari dalam 1 bulan = 28.800 ton/bulan x 12 bulan
dalam 1 tahun = 345.600 ton/tahun x 6 tahun beroperasi = 2.073.600 ton selama
beroperasi.
Operasi
PT. HPAM telah menghancurkan sumber penghidupan konomi masyarakat. Masyarakat
Desa Labai Hilir yang paling intensif dikeruk bauksitnya tinggal 10 KK yang
masih bertani, lainnya bekerja sebagai buruh kasar di pertambangan PT. HPAM.
Saat ini cadangan bauksit di desa Labai Hilir tinggal sedikit yang secara
otomatis PT. HPAM sebentar lagi tidak beroperasi. Perkembangan sosial budaya
masyarakat yang harmoni selaras dengan alam sudah berangsur berubah menjadi
relasi individualistik yang terbangun atas dasar kepentingan. Kebudayaan
harmoni yang terbangun atas prinsip keseimbangan alam berangsur mulai
ditinggalkan atau sebatas ritualitas belaka, yang paling nyata budaya berladang
dari menugal hingga pesta panen (gawai) saat ini susah sekali ditemui.
Disamping itu, aturan hukum adat yang selama ini mengikat dan mengatur
keselarasan social. Pranata sosial yang diatur berdasarkan fungsi-fungsi sosial
menjadi lebih longgar dan berubah dari fungsi pengaturan menjadi penguasa
kampung. Dan, yang paling mengerikan bagi generasi yang akan datang
beroperasinya PT. HPAM di iringi berkembangnya penyakit sosial seperti
prostitusi dan narkoba.
Penghancuran
hutan, pembongkaran tanam tumbuh dan pengerukan tanah telah menyebabkan
terdegradasinya keseimbangan alam. Kerusakan ekologi bagi masyarakat lokal yang
paling nyata berupa tidak ada lagi penahan curahan air hujan dan pengatur
distribusinya sehingga banjir pada musim hujan dan kekurangan air bersih pada
musim kemarau sudah lazim di rasakan oleh masyarakat. Serta, mata air tersumbat
oleh tanah-tanah bekas galian.
Limbah
pertambangan menurunkan kuwalitas air baik di area penggalian, pencucian
bauksit, sampai area pelabuhan. Limbah bauksit sangat terlihat dengan keruhnya
air sungai labai dan anak sungainya, padahal sungai tersebut digunakan
masyarakat untuk mandi, mencuci, minum serta wilayah tangkapan ikan.
Pembongkaran dan penggalian serta pengangkutan tanah menerbangkan debu-debu
yang dibawa angin maupun truck-truck pengangkut. Karena volumenya sangat besar
mengganggu kesehatan khusunya pernafasan dan mata.
Bekas
kerukan bauksit tanahnya menjadi tidak subur karena lapisan atasnya sudah tidak
ada sehingga sebagaian besar tanaman tidak lagi bisa tumbuh. Pembongkaran
hutan, kebun dan ladang menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati khas
kalimantan. Diwilayah bekas tambang kita tidak bisa menemukan kayu belian,
meranti, jelutung, serta kita tidak bisa mendapatkan buah mentawa’, Janta’an,
Linang, Rambutan hutan, Kembayau, Kekalik, Lengkeng hutan, Buah Kalimantan,
Sedawak, Terutung, tembranang.
Serta,
pembongkaran hutan menjadikan kekayaan fauna tidak lagi memiliki ruang hidup di
wilayah tersebut. Hewan yang sangat dilindungi seperti orang hutan dan burung
enggang tidak lagi bisa kita temui diwilayah PT. HPAM. Pun dengan hewan rusa,
kijang, Kelempiau, Lutung, Beruang, Landak, Tenggiling, Angkis, berbagai jenis
reptil sudah sangat jarang.
Lebih
jauh, pengerukan tambang sangat berkontribusi terhadap percepatan laju
perubahan iklim sangat besar karena menurunnya kemampuan dalam mengikat
(melepaskan dan menyerap) karbon oleh pohonannya maupun tanahnya. Bahkan dengan
pembongkaran hutan dan tanah akan mengirimkan emisi gas yang signifikan.
Jadi
apakah kita akan membiarkan pengrusakan alam kita yang secara otomatis
menghancurkan sumber hidup dan penghidupan masyarakat atau segera kita akan
bergegas menyelamatkan alam kita yang sekaligus menyelamatkan bumi manusia dari
kehancuran.