RUMAH BETANG: Bangunan Bersejarah Suku Dayak yang Masih Bertahan Hingga Kini

Rumah Betang adalah sebuah peninggalan sejarah massa lalu dan masih terus dilestari-kan dan dipertahankan oleh masyarakat Dayak hingga kini. Sebuah peninggalan sejarah masa lalu yang menceritakan secara tersirat kehidupan suku Dayak yang keras dan panjang di massa lampau dalam hidup berdampingan dengan alam. Rumah Betang yang telah berdiri sejak ratusan tahun lalu tersebut mengambarkan suku Dayak bukanlah suku yang terbelakang secara kebudayaan seperti yang banyak dibicarakan.

Rumah Betang tidak akan berdiri jika suku Dayak tidak mampu menyimpulkan apa yang diajarkan alam kepada mereka tentang bagaimana selamat dari bahaya yang mengancam di alam seperti binatang buas dan lain-lain, hasil dari rasa dan karsa tersebut kemudian diolah menjadi sebuah pengetahuan yang rasional tentang hidup berdampingan dengan alam. Pengetahuan tentang bagaimana memperlakukan alam, bagaimana hidup berdampingan dengan alam, apa yang akan terjadi jika alam dirusak terus diajarkan kepada generasi penerus mereka. Memahami bahwa sebuah materi di dunia ini pasti akan berkembang kearah yang lebih baik dari sebelumnya, maka ada faktor-faktor yang mempengaruhi mengapa suku Dayak tidak berkembang kearah yang lebih maju hingga sekarang terutama Suku dayak yang sampai sekarang masih berada di pedalaman.

Suku Dayak sejak lahirnya merupakan suku yang paling menghargai apa yang terdapat di sekelilingnya tidak hanya hubungan dengan alam namun antar sesama manusia. Hidup berdampingan dengan alam membuat merekalah yang paling mengerti bagaimana manjaga hutan saat ini. Seperti halnya suku dayak yang masih banyak hidup berdampingan dengan alam. Mereka memperlakukan alam dengan sangat bijak. Rumah Betang yang berdiri 1 sampai 2 meter diatas tanah dan memiliki panjang hingga ratusan meter tersebut harus matang dalam perencanaannya. Jika pondasi rumah tersebut rapuh maka puluhan keluarga akan terancam nyawanya. Sesungguhnya dengan melihat hal tersebut, suku Dayak telah melahirkan seorang arsitektur yang hebat pada massa lampau. Mereka mampu menuangkan hasil pemikiran yang gemilang tersebut dalam bentuk sebuah karya yang sangat megah dan bersejarah. Walaupun saat itu belum ada tekhnologi dalam proses perencanaannya, namun bangunan tersebut bisa kokoh hingga ratusan tahun lamanya dan mampu menahan orang puluhan keluarga yang tinggal didalamnya. Seperti lahirnya Candi Borobudur dan Candi Prambanan yang memiliki gaya arsitektur yang hebat dan unik. Rumah betang juga memiliki gaya arsitektur yang hebat dimasanya.

Selain itu, berdirinya Rumah Betang juga menunjukan bahwa suku Dayak merupakan suku yang memiliki budaya kolektif/kebersamaan yang tinggi. Pembangunan rumah betang bukanlah sesuatu hal yang mudah. Dengan tinggi dan panjangnya rumah betang tersebut, perlu sebuah kerjasama untuk merancang, membuat sampai penyelesaian akhir pembangunan rumah tersebut. Salah satunya rumah betang yang terdapat di Desa Saham, kec. Sengah Temila, Kabupaten Landak. Rumah panjang atau betang ini, memiliki panjang ±180 meter dihuni sekitar 36 kepala keluarga, mereka saling menjaga satu sama lainnya” ujar adi salah satu penghuni rumah betang yang sedang duduk santai di sore hari memandang panorama keindahaan alam.

Budaya kolektif yang dimiliki oleh suku Dayak merupakan budaya yang maju dan memiliki arti historis. Dengan budaya koloktif yang dimilikinya suku Dayak mampu menaklukkan alam yang ganas secara bersama-sama. Namun sayang, banyaknya investasi di sektor perkebunan, perkayuan dan pertambangan telah memicu kerusakan alam. Hal tersebut secara langsung telah membawa dampak yang sangat nyata di kehidupan bagi manusia terutama suku Dayak. Alam beserta hutan yang telah dijaga dan dilestarikan selama ratusan tahun dikorbankan demi investasi yang hanya mementingkan aspek ekonomi tanpa memperhatikan dampak-dampak lainnya seperti dampak politik, kebudayaan serta ekologi. Investasi disektor perkebunan, perkayuan dan pertambangan ternyata tidak hanya merusak alam beserta hutanya, rumah be­tang yang merupakan rumah bagi suku Dayak di pedala­man tersebut juga akhirnya berkurang secara kuantitas. Institute Dayakologi menemu­kan jumlah rumah betang di penjuru Kalimantan Barat kini tak lebih dari 27 buah yang dulunya berjumlah ribuan rumah betang. Budaya kolektif suku Dayak mulai terkikis men­jadi budaya individualisme. Budaya kolektif suku Dayak tidak lagi dituangkan dalam kehidupan yang nyata sebab mereka sudah tidak lagi hidup dalam 1 rumah. Mulai muncul penguasaan terhadap alam secara perseorangan akibat masuknya perkebunan dan merebut hak tanah adat.[DN]