Dayak Pedalaman, Terancam Pengusiran Lahan

Masalah kebangsaan adalah masalah yang sangat penting di Indonesia. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang unik dan terdiri dari ratusan Suku Bangsa. Suku Bangsa terbagi lagi dan membentuk sub-sub Suku Bangsa serta memiliki keunikan tersendiri yang terbentuk dari proses yang sangat panjang. Masing-masing Suku Bangsa memiliki perbedaan dari penggunaan bahasa, kebiasaan dan kepercayaan. Lebih dari itu semua, hubungan kekerabatan yang sangat kuat menjadikan Suku Bangsa tersebut memiliki persatuan yang utuh. 

Demikian halnya dengan Kalimantan Barat, Suku Bangsa dan sub suku telah ada sejak ratusan tahun yang lalu diantaranya, Babak, Badat, Barai, Bangau, Bukat, Entungau, Galik, Gun, Iban, Kalis, Kantuk, Kayan, Kayanan, Kede, Kendayan, Keramai, Klemantan, Punti, Randuk, Ribun, Darat, Darok, Desa, Kopak, Koyon, Lara, Senunang, Sisang, Suhaid, Sungkung, Limbai, Maloh, Mayau, Mentebak, Menyangka, Sani, Seberuang, Sekajang, Selayang, Selimpat, Embaloh, Empayuh, Engkarong, Ensanang, Menyanya, Merau, Mualang, Muduh, Muluk, Ng-abang, Ngalampan, Ngamukit, Nganayat, Panu, Pengkedang, Pompang, Senangkan, Suruh, Tabuas, Taman, Tingui. Dari Suku dan Sub Suku Bangsa yang terdapat di Kalimantan Barat, Suku Dayak merupakan Suku Bangsa yang paling banyak tersebar di hampir semua wilayah di Kalimantan Barat.


Masing-masing Suku Bangsa tersebut memiliki hukum adat yang mengatur proses kehidupan Suku Bangsa tersebut. Hukum adat menjadi hukum yang mengikat setiap orang. Proses penyusunan hukum adat didasarkan oleh musyawarah antara ketua adat, para tetua dan masyarakat sehingga didalam penyusunannya tidak ada pihak yang dirugikan akibat pembuatan hukum adat. Selama ratusan tahun dan sebelum negara ada ditengah-tengah mereka, hukum adat telah mengatur kehidupan menjadi tentram, damai. Ada sangsi tegas mengatur bagaimana pelanggar akan menerima hukuman sebagai akibat dari perbuatannya.
Tidak hanya mengatur masalah kehidupan antar sesama masyarakat. Hukum adat yang sangat baik tersebut juga mengatur bagaimana mengolah Sumber Daya Alam untuk kehidupan sehari-hari. Tanah-tanah yang ada diatur sedemikian rupa sehingga tidak ada satupun yang memonopoli terhadap sumber daya alam tersebut. Hal ini menandakan bahwa hukum adat yang mengatur kehidupan Suku Bangsa dan sub Suku Bangsa memiliki budaya kolektifisasi yang tinggi.

Akibat dari proses yang sangat panjang tersebut, masing-masing Suku Bangsa juga memiliki kebudayaan yang sangat megah yang masih dilestarikan saat ini. Mulai dari seni tari, seni pahat, seni lukis dan lain-lain. Kemudian senjata tradisional untuk berburu seperti sumpit dan tombak. Hingga saat ini, banyak dibuat perlombaan seperti sumpit, tari daerah untuk melastarikan budaya tersebut dan banyak dari kesenian tersebut telah dikenal sampai ke luar negeri.

Suku Bangsa yang banyak tersebut menyebar di semua wilayah Kalimantan Barat. Beberapa diantaranya menyebar diperkotaan, tapi sebagian besar masih tersebar dipedalaman. Mereka sangat bergantung pada hutan sebagai sumber kehidupan dan kelangsungan hidup mereka. Seiring dengan majunya tingkat perkembangan ide dan kebudayaan, Suku Bangsa dan sub Suku Bangsa di Kalimanatan Barat mulai menggunakan alat- alat modern untuk mengolah sumber daya alam mereka. Dibeberapa daerah tertentu, mereka masih menggunakan cara-cara yang bersifat tradisional untuk mempertahankan adat dan budaya dari nenek moyang mereka.

Tidak meratanya pembangunan berakibat Suku Bangsa yang menyebar didaerah pedalaman masih diselimuti dengan keterbelakangan. Mereka hidup di daerah yang sangat jauh akses terhadap kota. Partisipasi politik mereka dari tingkat daerah maupun regional juga masih sangat minim atau bahkan tidak ada sama sekali.

Jumlah Suku Dayak Pedalaman yang ada di Kalimantan Barat adalah 1.625.498 jiwa atau 37% dari total penduduk Kalimantan Barat. Saat ini mereka menyebar diwilayah pedalaman Kalimantan Barat. Mereka bergantung hidup pada pertanian padi berladang dengan sistem pembersihan dan pembakaran, sementara tanah diolah secara sederhana dengan sistem tugal. Bibit padi atau tanaman lainnya diperoleh dari hutan dan dikembangkan sendiri. Untuk menjaga kesuburan tanah, penduduk berpindah secara berkala dari ladang lama dan membuka ladang baru dalam rentang waktu tiga hingga lima tahun. Dengan kata lain mereka adalah pelestari alam sejati, mereka bertani dan berladang serta memungut kekayaan alam dengan tujuan bukan saja melestarikan alam tetapi memajukan alam.

Akan tetapi maraknya investasi di sector perkebunan, perkayuan dan pertambangan dengan berbagaimacam bentuk telah mengakibatkan golongan ini berada dalam ancaman yang sangat menghawatirkan. Dampak politik, ekonomi, terhambatnya kemajuan kebudayaan serta dampak lingkungan menjadi tidak terhindarkan.

Suku Bangsa yang saat ini masih tinggal diwilayah pedalaman Kalimantan Barat, seperti Suku Punan, Bukat, Taman, Kayan, Embaloh, Iban, Ot Danum dan yang lainya. Saat ini mereka selain tidak mendapatkan pengakuan atas wilayah adatnya, juga menghadapi berbagaimacam ancaman, perampasan tanah oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit skala besar, hak penguasaan hutan (HPH), konsesi pertambangan maupun penetapan status kawasan konservasi oleh pemerintah.

Intinya Suku Dayak Pedalaman di Kalimantan Barat saat ini sedang berada dalam ancaman penggusiran dari wilayahnya sendiri. Upaya untuk mengambil tanah-tanah adat terus dilakukan dengan cara-cara yang lebih sistematis. Secara politik usaha pemerintah untuk memudahkan perampasan tanah dari mereka adalah dengan menghancurkan hukum adat milik mereka.

Proses penghancuran sistem adat istiadat ini umumnya juga dilakukan dengan berusaha menarik pimpinan adat mereka kedalam struktur pemerintahan seperti pemerintahan desa yang dirancang sedemikian rupa dan mereorganisasi struktur adat. Pemerintah juga memaksa mereka menerima kehadiran pemerintah republic Indonesia ditengah-tengah mereka. Hukum adat yang mengatur kehidupan mereka selama ratusan tahun digantikan dengan hukum negara yang penuh dengan ketidakadilan.

Dampak politik lain yang terjadi adalah timbulnya ketegangan dan keresahan ditengah-tengah masyarakat. Pengambilan terhadap tanah-tanah adat milik mereka dan pengusiran bisa terjadi setiap waktu. Berbagaimacam tindakan intimidasi dan teror kepada masyarakat menjadi tidak terhindarkan. Tindakan intimidasi dan teror ini terjadi setelah masyarakat dengan segala kemampuanya terus berjuang demi mempertahankan tanah-tanah mereka.

Seperti yang saat ini sedang dialami oleh Suku Dayak Pedalaman dibawah Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK). Walaupun proses pengusiran tersebut belum dapat dilakukan, namun TNBK tetap saja menyiapkan cara-cara yang lebih sistematis untuk melakukan pengusiran terha-dap masyarakat yang tinggal didalam areal konservasi TNBK. TNBK maupun kawasan konservasi lainya mengakibatkan masyarakat tidak lagi memiliki kebebasan untuk melakukan aktifitasnya. Hal ini terjadi karena adanya aturan-aturan yang melarang mereka untuk berladang, berburu, dan mengambil kayu yang ada didalam hutan.

Dampak lainya dilapangan politik yang tidak bisa dihindarkan adalah munculnya konflik, baik konflik yang bersifat fertikal antara masyarakat dengan perusahaan dan pemerintah maupun konflik horizontal antar sesama masyarakat. Konflik antar masyarakat ini terjadi sebagai akibat dari politik adu domba yang sengaja dimainkan.

Kemudian secara ekonomi usaha pemerintah untuk memudahkan perampasan tanah-tanah milik masyarakat adat yang sebagai besar kaum tani adalah dengan memperkenalkan barang-barang komoditi dan tanaman komoditi yang berorientasi pasar. Budaya kolektifisme yang menjadi cirri khas Suku Bangsa Minoritas menjadi hancur dan digantikan dengan individualisme.

Akibat dari praktek pengambilan tanah secara paksa dan penetapan areal konservasi, baik tanah yang sudah digarap oleh masyarakat maupun yang belum (seperti hutan dan semak belukar) telah membawa kerugian yang sangat besar bagi masyarakat. Keberadaan tanah-tanah tersebut selama ini menjadi satu-satunya sarana produksi (sasaran kerja) bagi masyarakat dalam mencukupi kebutuhan hidupnya.

Kerugian lainya sebagai akibat dari penebangan hutan yang dilakukan secara membabi buta dan tidak pernah memperhitungkan dampaknya adalah hilangnya/punahnya sebagian besar kayu dan anekamacam kekayaan alam yang tumbuh secara alami didalam hutan. Hal ini jelas telah membawa kerugian. Selama ini hutan telah menyediakan keanekaragaman flora dan fauna merupakan sumber penghidupan tambahan.Rusaknya hutan yang tidak bisa dihindarkan telah membawa dampak ekologis, seperti bencana banjir dalam kenyataanya juga membawa dampak terhadap perekonomian masyarakat.

Dengan melihat proses panjang kehidupan Suku Bangsa yang ada di Indonesia khususnya suku Dayak di Kalimantan Barat. Sesungguhnya suku dayak telah mencapai tingkat perkembangan politik, ekonomi dan kebudayaan yang kurang lebih sama dengan perkembangan Suku Bangsa di negara Amerika Serikat dan negara Eropa lainnya. Namun masuknya Investasi Asing di Indonesia telah mengakibatkan perkembangan tersebut terhambat. Suku bangsa minoritas harus dipaksa menerima kehadiran hukum negara yang penuh dengan ketidakadilan tersebut menggantikan hukum adat yang telah mengatur kehidupan mereka selama ratusan tahun.