Dari Petani Ladang Menjadi Buruh Pertambangan

"Potret Buruh Pertambangan PT. Karya Utama Tambang Jaya (KUTJ) di Kec. Simpang Hulu dan Kec. Simpang Dua Kab. Ketapang"
Perampasan tanah yang berkedok peningkatan ekonomi rakyat semakin menjadi-jadi di Kalimantan Barat. Hingga tahun 2010, tercatat 359 perusahaan perkebunan telah mematok tanah dan kawasan hutan di Kalimantan Barat seluas 6,3 juta hektar(IUP 4,7 juta ha dan HGU 1,5 juta ha) dan HTI seluas 781.415 ha. Bumi Kalimantan Barat yang didalamnya terkandung deposit jutaan matrik ton bahan galian tambang tidak luput dari eksploitasi besar-besaran oleh 624 perusahaan tambang yang rakus.

Luasnya ijin konsesi perkebunan, HTI dan pertambangan menunjukan bahwa negara memberikan jalan yang sangat mudah bagi investasi untuk mengeruk tanah dan kawasan hutan serta kekayaan alam di bumi Khatulistiwa, baik yang dilakukan oleh negara melalui badan usahanya maupun perusahaan swasta dari dalam dan luar negeri. Penetrasi modal tersebut telah membuat beralihnya penguasaan tanah dan kawasan hutan serta kekayaan alam dari sistem komunal maupun perorangan (petani ladang) ketangan segelintir orang. Dimana rakyat yang selama ini memiliki keterikatan yang panjang terhadap tanah dan kawasan hutan serta kekayaan alam dipaksa tersingkir, mereka terpaksa kehilangan sumber hidup dan penghidupan ekonominya yang selama ini di gantungkan dari tanah, hutan dan kekayaan alamnya. Hilangnya sumber hidup dan penghidupan ekonomi kemudian memaksa mereka untuk menjadi buruh-buruh diperusahaan dan dipaksa untuk memperoleh upah yang rendah dan tekanan kerja yang sangat tinggi.

Tulisan ini merupakan potret nyata kehidupan buruh tambang PT. Karya Utama Tambang Jaya (KUTJ) di Kab. Ketapang tepatnya di Kecamatan Simpang Hulu dan Simpang Dua. Buruh tambang dulunya merupakan kaum tani yang memanfaatkan tanah dan kekayaan alamnya sebagai penopang hidup, namun masuknya PT. KUTJ telah membuat terampasnya sumber hidup dan penghidupan ekonomi mereka.

Sebelum tahun 2006, buruh tambang yang bekerja di PT. KUTJ merupakan kaum tani yang menggantungkan hidupnya dari mengolah hutan untuk dijadikan ladang, budidaya karet serta memanfaatkan kekayaan alam lainya untuk menunjang kehidupan mereka. Hasil ladang digunakan untuk mencukupi kebutuhan primer keluarga selama satu tahun seperti beras dan sayur-sayuran ladang, sedangkan budidaya karet digunakan untuk membeli kebutuhan sekunder, seperti pakaian, perabotan rumah tangga, motor, handphone dll. Hasil-hasil hutan lainnya seperti kayu digunakan untuk membangun rumah sederhana untuk melindungi keluarga dari panas terik matahari dan hujan.

Kebutuhan protein diperoleh dari berburu binatang-binatang hutan. Saat itu dalam 1 tahun kebutuhan pangan masyarakat hariannya dapat terpenuhi dari hasil ladang maupun berburu. Proses alam yang sangat panjang menjadikan perkembangan kebu-dayaan masyarakatmemiliki kaitan yang sangat erat dengan alam. Prinsip kebudayaan yang selaras dengan alam dapat dilihat dari kebudayaan buka hutan, berladang (dari mulai menugal hingga pesta panen/gawai padi/bejujong), men¬jaga sungai, buang antu dan aturan-aturan sosial yang diatur di dalam hukum adat. Pranata sosial diatur oleh struktur politik yang egaliter dijalankan oleh pengurus adat yang dipimpin oleh Kepala Adat. Kepala Desa yang merupakan kepanjangan tangan dari struktur pemerintah RI mengatur urusan-urusan yang terkait dengan pemerintahan. Pilihan politik masyarakat sangat ditentukan oleh pengurus adat.

Persoalan mulai muncul pada tahun 2006 dimana masyarakat dikumpulkan di bal-ai pertemuan desa oleh perangkat desa untuk mendengarkan sosialiasi masuknya PT. KUTJ. Kehidupan aman dan tentram bersama alam mulai terusik bersama dengan adanya sosialisasi dari perusahaan yang berniat mengeruk deposit bauksit di wilayah mereka. Sosialisasi dilakukan oleh peru¬sahaan dan di dampingi oleh Pihak Desa, Perusahaan, Polpos dan Polsek Kecamatan. Perusahaan berpegang pada IUP Eksplorasi yang dikeluarkan oleh Bupati Ketapang No. 479, 480, 481 Tahun 2011 dan berlaku sampai 31 Desember masing-masing seluas 1.142 Ha, 4.312 Ha dan 7.711 Ha, serta IUP Operasi Produksi berdasarkan SK Bupati Ketapang No. 337 Tahun 2006, berlaku sampai dengan 28 Agustus 2029 seluas 4.440 Ha. SK Bupati Ketapang No. 151 Tahun 2010, berlaku sampai dengan 17 Maret 2030 seluas 4.438 Ha. SK Bupati Ketapang No. 232 Tahun 2010, berlaku sampai dengan 13 April 2030 seluas 8.705 Ha .

Sosialisasi yang dilakukan pertama kali di desa Labai Hilir tersebut menandai terjadinya kepemilikan individual atas alat produksi(tanah) masyarakat dan hasil-hasil produksi di wilayah tersebut. Ketidaan alat produksi yang selama ini menjadi sumber hidup dan penghidupan ekonomi membuat masyarakatdipaksa menjual tenaganya untuk memperoleh upah dan dipekerjakan sebagai pekerja lapangan/buruh lapangan/buruh kasar perusahaan dibagian enginering, HRD, Auto Pool, Washing Plant, Mining atau divisi Shipping. Menurut pengakuan warga, 90% dari total angkatan kerja di Desa Labai Hilir bekerja sebagai buruh lapangan diperusahaan, sisanya masih menggantungkan hidup dari hasil alam . Sebanyak 40% karyawan di PT. KUTJ berasal dari masyarakat lokal yang dipekerjakan sebagai buruh-buruh lapangan. Sedangkan untuk posisi tenaga terampil perusahaan menempatkan orang dari luar wilayah labai.

Buruh dipekerjakan oleh perusahaan dengan sistim outsourcing dengan gaji pokok sebesar Rp. 1.125.500/bulan. Gaji pokok kemudian dipotong untuk Pajak Ppn sebesar Rp. 87.420,85 dan Asuransi Jamsostek Rp. 22.510. Sistim kerja outsourcing menurut UU 13/2003 disebut sebagai PKWT(Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Sistim kerja yang sifatnya sementara ini membuat buruh PT. KUTJ tidak memiliki kepastian jaminan kerja bahkan bisa terkena pemutusan hubungan kerja sepihak oleh perusahaan. Hal ini sudah terjadi pada salah satu perusahaan tambang lainnya di kecamatan kendawangan kabupaten ketapang yang menggunakan sistim kerja outsourcing. Perusahaan melakukan pemecatan pegawai secara berkala .Sistem outsourcing yang diberlakukan perusahaan menempatkan buruh kasar/lapangan dibagian utama, seperti bagian pengangkutan, penggalian dan mekanik. Padahal, UU 13/2003 sesungguhnya mengatur bahwa outsourcing boleh dilakukan dengan persyaratan ketat yaitu, dilakukan terpisah dari kegiatan utama, berupa kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan dan tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Dalam prakteknya, perusahaan tidak hanya melakukan eksploitasi terhadap kekayaan alan di wilayah tersebut. Namun, eksploitasi terhadap tenaga buruh juga dilakukan secara tidak manusiawi dengan menerapakan jam kerja yang tinggi. Dalam satu harinya buruh bekerja selama 11 jam dari pukul 07.00 sampai 19.00 dengan waktu istiahat selama 1 jam. Jika dikalkulasikan maka selama 6 hari kerja, jam kerja buruhmencapai 66 jam kerja. Eksploitasi tenaga buruh juga dilakukan dengan memaksa buruh untuk mengambil upah dari kerja lembur diluar jam kerja semakin melipatgandakan produksi bauksit perusahaan. Wilayah yang dulunya tenang dan tentram diusik dengan raungan exavator yang mengeruk kekayaan alam secara bar-bar selama 24 jam non stop. Perusahaan menerapkan 2 jenis upah lembur, yaitu upah lembur dihari kerja dan upah lembur diluar hari kerja/hari libur. Upah lembur untuk hari biasa dihargai Rp. 5.439,31/jam serta Rp. 6.505.78/jam untuk upah lembur diluar hari kerja(hari minggu dan hari libur lainnya. Jika dikalkulasikan, maka dalam 7 hari total jam kerja buruh mencapai 96 jam .

Mekanisme kerja perusahaan menjadikan buruh dipaksa memiliki ketergantungan yang sangat tinggi kepada perusahaan. Upah yang diperoleh tidak lantas membuat tingkat kesejahteraan buruh meningkat. Rendahnya upah sangat memberatkan buruh ditengah tingginya kebutuhan saat ini. Jika dibandingkan dengan pengeluaran buruh sebelum masuknya perusahaan, kebutuhan primer diperoleh dari hasil mengolah alam. Membeli hanya untuk mencukupi kebutuhan sekunder. Namun sejak dipaksa menjadi buruh dengan jam kerja yang tinggi, kebutuhan primer buruh seperti beras, sayur, lauk pauk diperoleh dengan cara membeli . Ditengah tingginya harga bahan kebutuhan bahan pokok seperti beras yang harganya Rp. 10.000 sampai Rp. 15.000/kg, penghasilan buruh dari perusahaan tidak mampu mencukupi kebutuhan selama 1 bulan. Untuk menutupi kekurangan tersebut buruh terpaksa menjerat diri mereka sendiri dengan hutang.

Tingginya jam kerja dan resiko pekerjaan tidak disertai dengan jaminan keselamatan kerja yang memadai.Dalam kesehariannya, buruh-buruh lapangan menggunakan alat keselamatan seadanya. Standar keselamatan kerja bagi buruh lapangan diterapkan dengan menyediakan alat pengaman dalam bekerja, seperti helm pelindung, boat, kacamata, masker dll. Namun, urung dipergunakan oleh buruh lantaran kurang terbiasa . Tindakan buruh yang kurang memperhatikan keselamatan kerja disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pertama, pihak perusahaan kurang melakukan pengawasan, keduaminimnya sosialisasi kepada buruh mengenai resiko-resiko yang mungkin terjadi jika tidak menggunakan alat keselamatan kerja dan terakhir ada indikasi perusahaan melakukan pembiaran. Tindakan yang menomor duakan keselamatan kerja tersebut sangat berbahaya bagi buruh, terlebih kerja yang mereka lakukan memiliki resiko yang sangat tinggi. Resiko yang bisa didapatkan buruh akibat mengabaikan alat keselamatan kerja bukan hanya resiko cacat fisik, namun kesehatan tubuh. Polusi udara dari asap-asap pabrik terbawa angin dan dihirup oleh buruh setiap hari tanpa menggunakan masker penutup.

Tingginya jam kerja dan buruknya jaminan keselamatan ditambah lagi dengan diskriminasi rasial terhadap buruh kasar/lapangan dalam pelayanan kesehatan.Padahal buruh sudah membayar Rp. 22.510 yang ditetapkan perusahaan untuk mendapatkan Jaminan Sosial dan Keselamatan Kerja (Jamsostek). Jika terjadi kecelakaan pada saat jam kerja, buruh hanya mendapatkan fasilitas pengobatan ke rumah sakit angkatan darat di Sui Raya dengan sistem pembayaran yang berbelit-belit dan rumit. Perusahaan hanya akan memberikan tunjangan pengobatan setelah mendapatkan claim dari rumah sakit. Namun, bagi petinggi perusahaan dan karyawan tetap, Rumah Sakit yang menjadi rujukan perusahan langsung ke Rumah Sakit Antonius dengan fasilitas mobil ambulance yang siap antar jemput.

Masuknya perusahaan ternyata tidak membuat kesejahteraan masyarakat yang di paksa menjadi buruh maupun dan yang sebagaian kecil masih mempertahankan menjadi petani meningkat sebagaiman yang dijanjikan perusahaan pada saat sosialisasi. Buruh dituntut harus menerima jam kerja dan resiko kerja yang tinggi, upah yang rendah, jaminan keselamatan kerja dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai. Perusahaan bukanya berusaha meningkatkan kesejahteraan buruh, malah terus melakukan pembiaran sehingga menambah kompleksitas persoalan yang dirasakan buruh. Tingginya tuntutan kerja oleh perusahaan direspon dengan aksi protes kepada pihak manajemen perusahaan. Seperti aksi boikot yang dilakukan oleh buruh divisi proyek selama lima hari dengan menahan truk-truk yang akan masuk ke pelabuhan bauksit serta menahan kapal pengangkut yang akan berangkat. Aksi boikot ini menuntut dinaikanya uang makan yang sesuai standar kebutuhan kalori buruh. Selama ini makanan yang diberikan kepada buruh sangat tidak masuk dalam standar makanan bergizi.

Penetrasi modal tersebut juga akan menambah masalah baru bagi buruh di hari depan. Setelah deposit tambang habis mau kemana buruh yang tidak terampil yang berasal dari masyarakat? Status tanah bukan lagi menjadi milik mereka. Serta, eksploitasi secara berlebih di wilayah tersebut tanpa mengindahkan dampak lingkungan memerlukanwaktu yang sangat lama dan biaya yang cukup besar untuk direhabilitasi. Pada akhirnya, buruh yang tidak terampil dari masyarakat akan melakukan migrasi ke kota dengan menjadi buruh kasar dipelabuhan dsb atau menjadi TKI di luar negeri. Penetrasi modal yang telah menghasilkan miliaran rupiah pada akhirnya hanya dinikmati oleh pejabat dan segelintir orang tanpa bisa dinikmati oleh masyarakat setempat.

Oleh karenanya menjadi penting bagi buruh pertambangan untuk mengorganisasikan diri sehingga memiliki perlatan perjuangan yang ampuh. Dan juga dengan organisasi yang kuat akan menjadi sarana bagi buruh pertambangan memiliki orientasi solutif bagi masa depannya. Tidak hanya solusi jangka pendek namun juga solusi jangka panjang akan nasib buruh pertambangan.

Salam Hangat
Dari pedalaman Kalimantan - Indonesia