PHK Ribuan Buruh PT.Harita Tumbal Pembangunan Smelter

PHK yang terjadi di PT.Harita merupakan tumbal atas rencana pembangunan Smelter di Ketapang. Ironis mengorbankan ribuan nyawa untuk kepentingan keuntungan besar perusahaan pertambangan bauksit terbesar di Kalbar. PHK yg dilakukan oleh PT.Harita juga didukung oleh Ketua DPRD kab.ketapang (Gusti Kamboja). 
Ketua DPRD Ketapang Gusti Kamboja mengatakan, setelah dilakukan rapat beberapa waktu lalu antara perusahaan, serikat buruh, dinaskertrans dan DPRD, hasilnya disepakati bahwa perusahaan tetap melakukan PHK, dengan syarat mereka harus memberikan pesangon.
  
"Selain memberikan pesangon perusahaan juga wajib mendirikan Smelter, atau tempat pengolahan bauksit, hanya saja nasib karyawan yang sudah dirumahkan tidak bisa diselamatkan, mereka tetap di PHK," katanya, Senin (3/8/2012)
readmore »»  

Kami Tertindas di Tanah Ulayat Suku Kami Sendiri

Sudah beberapa bulan ini, pertentangan antara mayarakat Tanjung Lokang dengan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) mengalami peningkatan. implikasi TNBK terlihat pada kehidupan ekonomi, politik dan kebudayaan masyarakat Tanjung Lokang.

Hal ini juga menjadi sebuah ancam terhadap kehidupan masyarakat Punan Hovongan yang telah mengalami diskriminasi Seperti minimnya fasilitas pendidikan, kesehatan dan berbagai pebangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan. Keterbatasan orang Hovongan hanya dimanfaatkan, puncaknya, perampasan tanah ulayat oleh TNBK.   Masyarakat Tanjung Lokang saat ini telah menyadari bahwa, TNBK telah melakukan perampasan tanah ulayat warisan leluhur suku Punan Hovongan sejak peningkatan status Cagar Alam menjadi Taman Nasional Betung Kerihun melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.467/Kpts-II/1995 dan penetapan batas kawasan secara sepihak pada tahun 1999 melalui Surat Keputusan No.510/Kpts-II/1999.

Sebelumnya mereka masih tidak yakin apakah tanah tersebut telah dirampas atau belum. Orang Hovongan sadar tanahnya telah dirampas seiring dengan berbagai usaha TNBK menegakkan peraturan secara sepihak di wilayah ketemenggungan mulai dari zonanisasi dan penancapan pal batas zona sejak keluarnya pedoman zona Taman Nasional No.56 tahun 2006, program penghijauan tahun 2010, berbagai bentuk pelarangan dan operasi terhadap kerja emas yang dilakukan oleh penduduk lokal yang telah mengakibatkan penderitaan yang parah. TNBK sama sekali mengabaikan hukum adat suku Hovongan dalam menjalankan aktivitas dan operasinya. Bila pun mengakui, hanya dimulut saja, dalam kenyataannya tidak.

TNBK tidak pernah memberikan penjelasan memadai dan terbuka mengenai kedudukannya di tanah ulayat, pemilik tanahkah, penumpangkah. Bila TNBK adalah pemilik tanah, kapan orang Hovongan menyerahkan tanah ulayatnya pada TNBK untuk dijadikan sebagai taman nasional dan bagaimana prosesnya ? Bila numpang atau pinjam, kenapa TNBK berusaha mengatur dan membatasi dan melarang aktivitas hidup masyarakat seolah-olah TNBK-lah yang menguasai tanah tersebut ?

Sebagai reaksi terhadap keadaan tersebut, beberapa bulan lalu masyarakat Tanjung Lokang menyegel kantor resort TNBK di desa dan masih berlangsung sampai saat ini. Menghadapi permasalahan ini, TNBK selalu mengatakan bahwa yang melakukan penyegelan tersebut hanya “segelintir orang”, alhasil hanya meminta bantuan kepala desa membuka segel, dan bahkan mengancam akan menangkap dan memenjarakan yang melakukan penyegelan. Pandangan dan sikap TNBK terhadap penyegelan kantor resortnya di Tanjung Lokang semakin menunjukkan tidak adanya itikad untuk memahami aspirasi dann kepentingan rakyat dengan sungguh-sungguh. Ungkapan-ungkapan TNBK yang menyatakan bahwa penyegelan ini dilakukan oleh “sebagian” masyarakat sangat tidak berdasar dan hanya upaya meredam perlawanan masyarakat dengan upaya yang kejam dengan memecah belah kekerabatan di desa. Tidak hanya itu. 

Pandangan TNBK yang menganggap masalah ini sebagai ulah sebagian kecil orang adalah keliru dan menyakitkan. Akibat dari pandangan ini, TNBK berusaha menekan kepala desa dan temenggung bahkan menyebar-luaskan ancaman penangkapan terhadap yang dianggap pelaku. Cara-cara semacam itu selain tidak akan membuahkan hasil bahkan semakin memperuncing pertentangan orang Hovongan dengan TNBK. Perlu dijelaskan bahwa ini adalah aspirasi seluruh orang Hovongan karena kami sangat berkepentingan untuk mempertahankan hukum adat dan tanah ulayat untuk berladang, kerja emas dan berburu. Sehingga kepala desa dan temenggung atau siapapun pun harus tunduk pada kepentingan orang banyak. Bila ingin menyelesaikan masalah ini maka TNBK harus meminta bantuan pimpinan suku dan pimpinan desa untuk bertemu dengan seluruh masyarakat dan memberikan keterangan sebenar-benarnya mengenai status hukum adat atas tanah ulayat kami. Kami yang berhak mengatur TNBK atau TNBK yang berhak mengatur kami, ini akan memperjelas siapa sesungguhnya pemilik tanah ini sekarang “tutur masyarakat Punan Hovongan”.    

Penyegelan Kantor Resort TNBK Tanjung Lokang adalah bentuk perjuangan atas tindakan TNBK yang tidak mengakui dan menghormati hukum adat dan hak tanah ulayat suku Hovongan. Penyegelan ini adalah reaksi atas hak dan lebih dari itu, kebebasan yang terancam dan kehormatan yang terusik. Orang Punan Hovongan tidak pernah mendapat penjelasan yang jelas mengenai nasib tanah ulayatnya dan kedudukan TNBK sendiri serta nasib hukum adat yang seharusnya berlaku di atas tanah ulayat itu tersebut. Seringkali petugas-petugas TNBK hanya berbicara bahwa tanah ini tetap menjadi milik orang Hovongan sekalipun telah ada SK menteri kehutanan tentang penetapan wilayah Taman Nasional Betung Kerihun dan juga telah membuat zona-zona yang tidak dimengerti tujuan dan kedudukannya oleh masyarakat terutama kaitannya dengan keberadaan tanah ulayatnya. Hal ini diperuncing lagi oleh adanya berbagai operasi di wilayah ketemenggunggan Punan Hovongan di Hulu Kapuas tanpa seijin Temenggung dan Pimpinan Adat lainnya. Peraturan-peraturan tersebut setahap demi setahap menindas dan menghilangkan kebebasan orang Hovongan untuk mencari penghidupan untuk bertahan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya secara bebas.

Sikap ketidak berpihaknya pemerintah melalui, TNBK menghadapi penyegelan ini semakin membuka wajah aslinya yang berlawan dengan aspirasi dan kepentingan rakyat. Bahkan yang sengaja disebar-luaskan dalam masyarakat adalah para pelaku penyegelan adalah segelintir orang, akan ada penangkapan, dan berbagai isu lain yang menciptakan keresahan dan perpecahan. TNBK dengan sengaja dan dengan berbagai cara cuci tangan atas berbagai masalah yang ditimbulkannya sejak berdirinya taman nasional di atas tanah ulayat Orang Hovongan. Mereka meletakkan seluruh masalah ini seolah-olah ulah orang Hovongan, dan menghindari akar masalah sesungguhnya yaitu mereka sendiri. TNBK hanya bersurat pada kepala desa meminta difasilitasi membuka kantor tanpa pengakuan dan penghormatan atas tuntutan umum masyarakat yang telah mengemuka maupun belum dengan keberadaan TNBK di sini. Sehingga masyarakat saling menekan satu sama lain dan melupakan bahwa akar masalahnya adalah TNBK. 

Sebenarnya, sebelum TNBK datang orang Hovongan telah mengalami berbagai bentuk penindasan seperti perlakuan yang tidak adil (diskriminasi) dari negara sebagaimana orang Dayak umumnya. Berladang, kerja emas dan berburu sama sekali tanpa bimbingan dan bantuan negara. Berbagai sarana dan prasarana hanya mimpi. Pendidikan jauh tertinggal dengan angka buta huruf dan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas, demikian pula kesehatan, listrik, jalan dan jembatan.  Masyarakat berharap besar mendapat perhatian dari negara, dan negara harusnya merasa bersalah karena telah mengabaikan hak rakyat puluhan tahun. Akan tetapi hal tersebut tidak pernah terjadi dan malah membantu kehadiran TNBK yang kembali menambah kesengsaraan dengan dirampasnya hak ulayat secara terselubung. Satu-satunya jalan dalam penyelesaian penyegelan ini adalah TNBK harus mengakui dan menghormati hukum adat dan tanah ulayat milik orang Hovongan. 

Bukan orang Hovogan yang berada dalam TNBK tetapi TNBK-lah yang berada di atas tanah orang Hovongan. Hukum adat ini tidak boleh dipertentangkan dengan hukum nasional atau dengan kepentingan nasional, karena orang Hovongan adalah juga bagian dari bangsa dan rakyat Indonesia. Kepentingan orang Hovongan adalah kepentingan nasional. Sebab bila bukan kepentingan nasional institusi negara dan TNBK mendorong separatisme.

Orang hovongan hanya meminta agar hukum adatnya dihormati, sebab bila hukum adat betul-betul dihormati maka tanah ulayat yang melekat pada hukum adat atau wilayah di mana hukum adat itu berlaku, harus dikembalikan. Masyarakat betul-betul menginginkan penjelasan sejelas-sejelasnya dari TNBK mengenai masalah ini

readmore »»  

Protes Polisi dan PT Sintang Raya, AMKB Akan Sebar Brosur

PONTIANAK Aliansi Mahasiswa Kalimantan Barat (AMKB) yang aktif memperjuangkan masalah konflik lahan, permasalahan buruh, tani dan nelayan di Kalimantan Barat, bersama Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Kalbar merencanakan penyebaran brosur protes yang ditujukan pada pihak kepolisian dan PT. Sintang Raya, dengan tema “Mengutuk kriminalisasi dan intimidasi oleh pihak kepolisian terhadap kaum tani di Desa Seruat II”.

Menurut aktivis AMKB, Wahyu Setiawan melalui rilisnya kepada BeritAnda.com, Minggu (2/9/2012), menyatakan bahwa penyebaran brosur direncanakan akan dilakukan pada 4 September 2012, sebagai bentuk solidaritas kepada petani Kalbar yang tertindas oleh sistem ekonomi kapitalis. “Untuk jam, masih kita koordinasikan dengan rekan-rekan lainnya,” ujarnya.

Aksi ini, menurut Wahyu merupakan langkah pihaknya untuk melakukan protes terhadap aparat kepolisian dan PT Sintang Raya menyusul penangkapan yang dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap satu orang petani dari desa Seruat II, bernama Iskandar, pukul 09.30 Wib.

“AMKB mengutuk tindak kriminalisasi dan intimidasi pihak kepolisian terhadap Petani, dan kami AMKB akan melakukan perjuangan atas nama rakyat Kalbar atas tuduhan yang dilakukan PT Sintang Raya kepada masyarakat Desa Seruat II,” katanya.

“Dari kornologis yang dibeberkan oleh Serikat Tani Kubu Raya (STKR) kepada kami, terjadinya penangkapan kepada Iskandar dengan surat pemanggilan nomor : Sp. Panggil/103/2012 dari Serse 13 Kubu Raya, tidak memenuhi prosedur yang berlaku,” ungkap Wahyu.

Disampaikan Wahyu, di dermaga Kakap, Iskandar langsung digiring oleh orang yang tak dikenal, dengan paksaan berupa tamparan kecil yang dilakukan oleh pihak yang membawanya. Akhirnya diketahui bahwa pembawa Iskandar adalah pihak polisi, yang langsung menahannya tanpa alasan yang jelas. “Bahkan surat pemanggilan kepada Iskandar baru disampaikan pada pukul 13.00 wib,” terangnya.

“Dengan proses penangkapan yang tidak sesuai dengan prosedur yang ada ini, kami AMKB menyatakan dengan tegas bahwa penangkapan Iskandar merupakan suatu intimidasi dan kriminalisasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian terkait konflik vertikal yang terjadi di tahun 2003 disaat PT. Sintang Raya masuk,” papar Wahyu.

Hal ini, sambungnya, dapat dilihat dari catatan administratif perijinan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Pontianak. Ia menyampaikan, diawali dengan surat permohonan yang diajukan oleh Direktur PT. Sintang Raya dengan nomor surat 12/SR-P/III/2003 tanggal 12 Maret 2003 Perihal Permohonan Izin Prinsip Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit di Kecamatan Kubu Kabupaten Pontianak (sekarang masuk kabupaten Kubu Raya), tanpa terlebih dahulu melakukan sosialisasi dengan masyarakat sekitar untuk melihat tanggapan masyarakat terhadap masuknya sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit skala besar, Pemerintah Kabupaten Pontianak secara sepihak langsung membalas surat permohonan tersebut dengan mengeluarkan Surat Keputusan dengan nomor surat 503/0587/1-Bapeda tertanggal 24 April 2003 mengenai informasi luas lahan 22.000 hektar di Desa Seruat II Kecamatan Kubu.

“Penolakan masyarakat terhadap PT. Sintang Raya terjadi karena perusahaan tidak merealisasikan keinginan masyarakat. Bahkan hal-hal yang telah dilarang masyarakat juga tidak diindahkan oleh perusahaan,” jelasnya.

Dengan kata lain, tambah Wahyu, jangankan perusahaan membangunkan tanggul untuk penyangga air asin, menyediakan lahan plasma atau membawa kesejahteraan sebagaimana yang dijanjikan saja tidak.

“Hutan dan bahkan areal pertanian/perladangan yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat juga dibabat habis oleh PT. Sintang Raya,” sindirnya.

Bahkan, lanjutnya, perusahaan berlaku semaunya tanpa memperdulikan kerugian dipihak masyarakat dengan terus-menerus melakukan penebangan tanaman-tanaman milik masyarakat yang sudah menghasikan. Seperti tanaman kelapa, karet, dan berbagai jenis tanaman lainya. (rfi)

Sumber : http://beritanda.com/nusantara/kalimantan/kalimantan-barat/8666-protes-polisi-dan-pt-sintang-raya-amkb-akan-sebar-brosur-.html
readmore »»